Kebidanan.umsida.ac.id – Stunting bukan sekadar persoalan gizi, melainkan ancaman serius bagi kualitas generasi bangsa di masa depan. Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2023, sebanyak 4,8 juta anak Indonesia masih mengalami stunting.
Dosen Program Studi S1 Kebidanan dan Profesi Kebidanan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Yanik Purwanti SST M Keb menuturkan bahwa pencegahan stunting harus dimulai sedini mungkin. “Masa emas 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) sejak dalam kandungan hingga usia dua tahun menjadi fase krusial untuk intervensi,” tegasnya.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, terutama pada masa awal kehidupan. Jika tidak ditangani sejak dini, dampaknya bersifat permanen, baik secara fisik maupun kognitif.

Intervensi dini bukan hanya soal gizi, tetapi juga soal lingkungan dan perilaku. Program-program seperti pendampingan keluarga 1000 HPK, pemberian makanan tambahan (PMT), Gerakan Bapak Asuh Anak Stunting (BAAS), hingga pengaktifan kembali posyandu menjadi bagian dari strategi intervensi sensitif dan spesifik.
“Anak usia di bawah dua tahun masih sangat responsif terhadap perbaikan asupan nutrisi, ASI eksklusif, MPASI yang tepat, sanitasi, serta stimulasi tumbuh kembang,” ungkap Yanik. Maka dari itu, bidan memiliki peran penting dalam menanamkan pondasi kesehatan sejak dini.
Peran Bidan dalam Intervensi Awal: Dari Deteksi Gizi Ibu Hamil hingga Edukasi Keluarga
Bidan bukan sekadar tenaga kesehatan di garis depan, tetapi garda terdepan dalam melindungi generasi masa depan. Menurut Yanik, bidan memiliki tanggung jawab besar dalam melakukan intervensi awal sejak masa kehamilan, mulai dari mendeteksi risiko gizi buruk hingga mempersiapkan ibu untuk menyusui.
“Langkah pertama yang krusial adalah deteksi dini gizi ibu hamil melalui pengukuran LILA, berat badan, tinggi badan, serta penilaian IMT dan anemia,” jelasnya. Selain itu, pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) secara rutin juga menjadi intervensi wajib untuk mencegah anemia yang dapat mempengaruhi pertumbuhan janin.
Yanik juga menekankan pentingnya kunjungan antenatal care (ANC) minimal enam kali selama kehamilan untuk memantau kesehatan ibu dan perkembangan janin. Dalam kunjungan ini, edukasi mengenai pola makan gizi seimbang, konsumsi protein hewani, sayuran, dan buah menjadi fokus utama.
“Bidan juga harus aktif mengedukasi agar ibu hamil tidak mengkonsumsi makanan ultra-proses atau minuman manis secara berlebihan,” ujar Dosen Kebidanan Umsida tersebut.
Tak kalah penting adalah keterlibatan keluarga, khususnya suami, dalam mendukung ibu hamil. Edukasi kepada pasangan mengenai pentingnya 1000 HPK, dukungan menyusui, dan partisipasi dalam kelas ibu hamil menjadi bagian dari intervensi yang komprehensif.
“Perubahan perilaku tidak bisa dilakukan oleh ibu sendiri, harus ada kesadaran kolektif dari keluarga,” tandasnya.
Tantangan Bidan di Lapangan dan Harapan Menuju Indonesia Bebas Stunting
Meski peran bidan sangat vital, Yanik mengakui ada banyak tantangan di lapangan yang membuat intervensi awal tidak selalu berjalan optimal. Salah satunya adalah keterbatasan jumlah bidan di wilayah terpencil dan cakupan wilayah kerja yang luas.
“Kami sering dihadapkan pada kondisi masyarakat yang masih belum paham pentingnya gizi dan ASI. Belum lagi mitos dan budaya lokal yang bertentangan dengan praktik MPASI atau ASI eksklusif,” jelasnya.
Tantangan lain termasuk kondisi ekonomi keluarga yang rendah, sanitasi lingkungan yang tidak memadai, serta minimnya fasilitas dan alat pemantauan tumbuh kembang anak. Di sisi lain, koordinasi lintas sektor antara dinas kesehatan, BKKBN, hingga pemerintah desa juga masih perlu ditingkatkan.
Namun di balik tantangan tersebut, ada harapan besar. Lewat pemberdayaan bidan yang komprehensif dan profesional, serta penguatan peran edukatif di masyarakat, Indonesia bisa menurunkan angka stunting secara signifikan.
“Bidan bukan hanya penyuluh, tetapi juga pelaksana dan pendamping keluarga. Jika semua pihak mendukung dan berkolaborasi, maka cita-cita Indonesia Emas 2045 bisa dimulai dari kandungan,” tutup Yanik penuh optimisme.
Upaya menurunkan angka stunting di Indonesia tidak bisa mengandalkan satu pendekatan semata. Diperlukan intervensi dini dan menyeluruh yang melibatkan gizi, perilaku, sanitasi, hingga edukasi keluarga secara aktif.
Baca Juga : Sentuhan Hangat dan Pijatan Lembut, Rahasia Redakan Nyeri Persalinan
Melalui wawancara dengan Dosen Prodi S1 Kebidanan dan Profesi Bidan Umsida menegaskan bahwa peran bidan menjadi sangat strategis, mulai dari pemantauan kesehatan ibu hamil, pemberian edukasi pola makan sehat, hingga pendampingan keluarga dalam mengoptimalkan masa 1000 HPK. Meskipun tantangan di lapangan masih besar, optimisme menuju Indonesia bebas stunting tetap terbuka, selama ada kolaborasi lintas sektor dan dukungan kolektif dari masyarakat.
Penulis : Amelia hidayatus sabila
Editor : Novia