Fikes.Umsida.ac.id– Partisipasi orang tua dalam Posyandu setelah imunisasi dasar lengkap masih menghadapi tantangan. Penelitian Program Studi Kebidanan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) mengungkap bahwa meski sebagian besar hambatan yang dirasakan orang tua rendah, faktor dukungan dan cues to action berperan penting dalam mendorong kunjungan.
“Dorongan dari kader, keluarga, serta pengingat jadwal menjadi pemicu yang efektif, meski secara statistik belum signifikan,” jelas peneliti.
Hambatan dalam Kunjungan Posyandu

Hasil riset menunjukkan sebagian besar responden (90,2 persen) berada pada kategori hambatan rendah. Artinya, mayoritas orang tua tidak merasakan kendala besar untuk datang ke Posyandu.
“Faktor jarak bukan lagi hambatan karena 75,4 persen responden tinggal kurang dari 1 kilometer dari Posyandu,” ungkap peneliti.
Namun, hambatan non-fisik seperti kurangnya informasi atau rendahnya kesadaran masih menjadi tantangan. Beberapa responden mengeluhkan antrian tidak teratur, fasilitas yang kurang memadai, dan layanan imunisasi yang sesekali tidak lengkap. Meski jumlahnya kecil, hal ini tetap dapat memengaruhi persepsi orang tua terhadap kualitas layanan.
Menurut penelitian, hambatan yang dirasakan tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan partisipasi orang tua (p = 0,082; r = -0,243).
Meski demikian, nilai korelasi negatif menunjukkan kecenderungan: semakin rendah hambatan yang dirasakan, semakin besar kemungkinan orang tua hadir. Hal ini menegaskan pentingnya menjaga kualitas layanan dan memastikan akses informasi berjalan optimal.
Dukungan Keluarga dan Peran Kader
Dukungan dari keluarga dan kader menjadi faktor penting yang memperkuat partisipasi. Riset menunjukkan 100 persen responden mengaku mendapatkan dukungan keluarga untuk hadir ke Posyandu.
“Kehadiran suami, kakek-nenek, atau saudara yang ikut serta mendukung kunjungan menjadi energi tambahan bagi para ibu,” kata peneliti.
Selain keluarga, kader Posyandu memegang peran kunci. Data menunjukkan 93,4 persen responden memperoleh informasi tentang jadwal Posyandu dari kader.
Peran ini menjadikan kader sebagai ujung tombak dalam mengedukasi, mengingatkan, sekaligus memotivasi orang tua.
Dukungan tersebut sejalan dengan temuan lain bahwa sebagian besar responden (90,2 persen) menilai Posyandu sangat penting. “Kesadaran tinggi ini perlu terus dirawat dengan komunikasi aktif antara kader dan orang tua,” jelas peneliti. Dengan dukungan yang kuat, hambatan yang kecil dapat semakin diminimalisasi.
Peran Cues to Action dalam Meningkatkan Partisipasi
Faktor cues to action atau isyarat untuk bertindak juga menjadi perhatian dalam riset ini. Sebanyak 72,1 persen responden berada dalam kategori tinggi pada aspek cues to action, menandakan bahwa dorongan dari luar masih sangat berpengaruh.
“Peringatan jadwal, penyuluhan kader, maupun kampanye kesehatan menjadi pemicu yang membuat orang tua hadir,” papar peneliti.
Meski belum signifikan secara statistik (p = 0,062; r = 0,252), nilai korelasi positif menunjukkan adanya potensi besar. Peneliti menegaskan bahwa intervensi berupa reminder digital, seperti SMS atau aplikasi Posyandu, bisa memperkuat efek ini.
“Jika pengingat jadwal dikombinasikan dengan edukasi manfaat, maka tingkat partisipasi dapat meningkat,” tambahnya.
Penguatan cues to action sejalan dengan rekomendasi penelitian terdahulu yang menekankan pentingnya inovasi digital. Misalnya, pesan otomatis kepada orang tua yang jarang hadir atau kampanye edukasi di media sosial untuk mengingatkan manfaat Posyandu pasca-imunisasi dasar.
Dengan strategi ini, Posyandu tidak hanya menjadi tempat layanan kesehatan, tetapi juga ruang edukasi dan penguatan kesadaran kolektif.
Penelitian Kebidanan Umsida menegaskan bahwa hambatan dalam kunjungan Posyandu relatif rendah, sementara dukungan keluarga dan kader terbukti sangat kuat.
Peran cues to action meski belum signifikan, tetap menjanjikan sebagai pemicu yang dapat diperkuat melalui intervensi digital dan komunikasi intensif.
“Dengan meminimalisasi hambatan, memaksimalkan dukungan, dan mengoptimalkan cues to action, Posyandu dapat menjadi pusat layanan kesehatan anak yang lebih diminati orang tua,” simpul peneliti.
Melalui strategi ini, branding Posyandu sebagai layanan kesehatan berbasis komunitas tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang menjadi model pelayanan kesehatan masyarakat yang berkelanjutan.
Sumber: Evi Rinata
Penulis: Novia